Analisis Litbang “Kompas”: Sisi Kuat dan Sisi Lemah Kenaikan Elektabilitas Demokrat
Analisis Litbang “Kompas”: Sisi Kuat dan Sisi Lemah Kenaikan Elektabilitas Demokrat

Analisis Litbang “Kompas”: Sisi Kuat dan Sisi Lemah Kenaikan Elektabilitas Demokrat

Jakarta - Dalam survei yang dilakukan Litbang Kompas, elektabilitas Partai Demokrat menunjukkan tren meningkat pesat. Dari posisi partai papan menengah di Oktober 2021, meningkat ke partai papan atas pada Oktober 2022. Keterpilihan Demokrat kian mendekati elektabilitas Partai Gerindra.

Jika tren elektabilitas Partai Demokrat terus berlangsung seperti ini, bukan tidak mungkin susunan partai papan atas akan mengalami perombakan yang mengancam posisi Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pengelompokan partai-partai papan atas ini mengacu pada parpol yang memiliki elektabilitas berdasar hasil survei di atas 10 persen. Hal ini bukan tak mungkin terjadi karena tren angka kenaikan (slope) elektabilitas Demokrat lebih baik daripada Gerindra dan PDI-P.

Namun, mungkinkah elektabilitas Partai Demokrat akan kembali memimpin perolehan suara parpol sebagaimana yang pernah terjadi dalam Pemilu 2009, yaitu meraih 20,85 persen suara? Kemudian, seperti apakah kondisi dan momentum politik bagi potensi dominasi elektabilitas Demokrat?

Sisi kuat kenaikan elektabilitas Demokrat tampak dari aspek kuantitatif berupa profil demografi pemilih, aspek kualitatif momentum politik, dan narasi politik sebagai oposisi.

Dilihat dari demografi pemilih hasil survei, partai berlambang segitiga "mercy" ini beroleh banyak dukungan dari kelompok pemilih di wilayah-wilayah yang secara tradisional memiliki unsur-unsur berbasis massa corak keislaman-Melayu, wilayah politik yang banyak dikuasai Golkar di luar Jawa, yaitu Sulawesi Selatan, dan basis massa kawasan Islam-Sunda di Jawa Barat.

Kenaikan konsisten suara Demokrat dari tiga survei terpantau terutama pada wilayah Riau, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Sementara sebaran suara responden yang sebelumnya sudah cukup loyal dan beralih menyatakan akan memilih Demokrat juga terlihat di NTB, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jakarta, dan Banten.

Meskipun demikian, secara proporsi total mayoritas jumlah pemilih Demokrat tetap bertumpu di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Tiga wilayah tersebut menjadi tiga besar provinsi dengan jumlah populasi pemilih dominan. Dalam tiga survei ini juga terpantau bahwa responden di DIY merupakan provinsi di Jawa yang relatif paling sedikit akan memilih Demokrat dalam Pemilu.

Aspek berikutnya yang menjadi momentum kenaikan elektabilitas Demokrat yang melejit terjadi dalam setahun terakhir, tak pelak beriringan dengan kemenangan penyelesaian dualitas kepengurusan DPP Partai Demokrat versi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan DPP Partai Demokrat versi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Pada akhirnya, kemenangan DPP versi AHY ditandai dua hal, yaitu Keputusan Menkumham Yasonna H Laoly yang menolak mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang (kubu Moeldoko) yang polemiknya berlangsung sejak Maret 2021. Kemudian hal itu diakhiri dengan Keputusan Mahkamah Agung pada 9 November 2021 yang menolak berbagai permohonan gugatan yang diajukan Demokrat kubu Moeldoko. Keputusan ini sekaligus menutup peluang hukum suksesi organisasi Partai Demokrat.

Survei Litbang Kompas mencatat, pertumbuhan elektabilitas Demokrat sepanjang tahun 2021 rata-rata hanya 5,4 persen seiring ketika polemik hukum terjadi. Namun, seiring selesainya kisruh kepengurusan Demokrat pada akhir tahun 2021, membuat elektabilitas Demokrat hasil survei akhir Januari 2022 terbukti melejit dua kali lipat menjadi 10,7 persen.

Narasi oposisi

Merunut ke belakang, dalam pertarungan Pemilu 2014, Demokrat mengalami penurunan elektabilitas yang tajam, yaitu sebesar 10,19 persen. Jumlah itu sekitar separuh dari hasil perolehan suara di Pemilu 2009, di mana Demokrat meraup 20,85 persen suara hasil Pemilu DPR dan sekaligus menjadi masa keemasan Demokrat.

Seiring terbentuknya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode I pada 2014, Demokrat mengambil jalur politik yang hati-hati dengan berada di luar koalisi kabinet pemerintahan meskipun tidak pula menegaskan diri sebagai oposisi diametral. Alih-alih berada di kedua kutub politik itu, Demokrat menyatakan partainya sebagai "partai penyeimbang".

Tercatat, sejumlah kritik kerap disuarakan Partai Demokrat terhadap pemerintah sepanjang periode pemerintahan Jokowi I dan II, mulai dari kritik atas kinerja dan kegaduhan kabinet, kebijakan luar negeri, anggaran infrastruktur yang terlalu besar, kenaikan harga BBM yang memberatkan rakyat, hingga utang luar negeri pemerintah yang tinggi.

Dari hasil survei terlihat bahwa proporsi responden pemilih Demokrat yang mendukung Jokowi hanya sekitar separuh dari pendukung Prabowo (di Pemilu 2019). Dengan positioning yang konsisten mengambil jarak dan bersikap kritis kepada pemerintah, Partai Demokrat menempatkan dirinya menjadi tempat berlabuh bagi publik yang memiliki pandangan politik tidak sejalan dengan pemerintah.

Hal itu senada dengan tren penurunan kepuasan umum publik pada kinerja pemerintah yang terpantau terus menurun sejak survei Januari (73,9 persen), Juni (67,1 persen), dan Oktober (62,1 persen). Di sisi lain, elektabilitas Demokrat pada Januari sebesar 10,7 persen, Juni sebesar 11,6 persen, dan Oktober sebesar 14,0 persen.

Hal yang membuat elektabilitas Demokrat meningkat adalah karena kelompok masyarakat yang kecewa dengan kinerja pemerintahan Jokowi dan merupakan kelompok pemilih mengambang akhirnya menjatuhkan pilihan ke Demokrat. Hal ini terlihat dari hasil survei bulan Oktober di mana 19,4 persen responden yang dalam Pemilu 2019 menyatakan "belum memilih mengungkapkan akan memilih Demokrat dalam Pemilu 2024.

Kenaikan elektabilitas Demokrat juga terlihat karena ada limpahan sebagian pemilih partai lain di Pemilu 2019 yang "menyeberang" menjadi pemilih Demokrat. Hal ini terutama sangat terlihat pada hampir separuh pemilih Hanura dan sebagian pemilih PAN. Narasi oposisi makin menguatkan alternatif pilihan politik bagi pemilih yang tidak sejalan dengan pemerintah dan menjatuhkan pilihannya ke Demokrat.

Sisi lemah

Meskipun terjadi kenaikan pemilih Demokrat, ada pula sisi lemah kenaikan elektabilitas ini, baik dari segi demografi hasil survei maupun dinamika narasi politik yang dominan. Ibarat timbangan, apa yang baik dari wajah pemerintahan Jokowi bisa saja menjadi kelemahan bagi daya tarik Demokrat dalam menarik pemilih.

Dari segi demografi, jika dilihat berdasarkan aspek loyalitas kepartaian dengan membandingkan partai yang dipilih pada Pemilu 2019, terlihat bahwa tambahan kenaikan responden pemilih Demokrat saat ini lebih banyak berasal dari pemilih tidak loyal (swing voters). Pada hasil survei Januari 2022, misalnya, jumlah pemilih swing voters mencakup 42,3 persen kemudian naik menjadi 49,3 persen pada Juni 2022 dan naik lagi menjadi 62,7 persen pada survei Oktober 2022.

Hanya saja, jika dibandingkan jumlah responden yang menjadi strong voters Demokrat, tampak bahwa pertumbuhan pemilih loyal (strong voters) Demokrat masih relatif tetap. Sementara pemilih mengambang meningkat hampir dua kali lipat dalam periode yang sama.

Jika ditelisik dari latar belakang usia, tampak bahwa kelompok-kelompok usia masih bersifat dinamis dalam memilih Demokrat. Dalam survei bulan Oktober misalnya, tambahan pemilih Demokrat banyak disumbang generasi Z (usia di bawah 24 tahun) dan kelompok baby boomers (tua). Generasi Y muda cenderung justru menunjukkan grafik menurun dan kelompok usia generasi Y tua dan generasi X cenderung stabil.

Dengan pemetaan berdasarkan karakteristik responden pada survei tersebut, tersimpulkan bahwa kenaikan elektabilitas Partai Demokrat masih menyimpan kerawanan di balik capaian saat ini. Keunggulan dalam memanfaatkan momentum politik masih harus diperkuat dengan loyalitas terhadap partai dan proporsional populasi untuk menjamin elektabilitas partai yang stabil tinggi. (LITBANG KOMPAS).

Sumber : kompas.com

Baca juga:

Admin
Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.