Asal Mula Moyang  Penduduk Tanjung Tanah-Kerinci.
Asal Mula Moyang  Penduduk Tanjung Tanah-Kerinci.

Asal Mula Moyang Penduduk Tanjung Tanah-Kerinci.

Asal Mula Moyang  Penduduk Tanjung Tanah-Kerinci. 

Tempat Naskah Malayu Tertua Didunia

Oleh : SUHARDIMAN RUSDI

Pemerhati Budaya & Sejarah Kerinci

Bumi Sakti Alam Kerinci merupakan salah satu pusat peradaban malayu tua yang ada di Indonesia bahkan di dunia, berbagai peninggalan kebudayaan masa lalu masih banyak tersimpan di negeri yang dijuluki sekepal tanah dari surga “sekepal tanah dari surga”, julukan ini diberikan kepada Alam Kerinci dikarenakan tanahnya yang subur, udaranya sejuk, pemandangannya indah dikelilingi bukit yang hijau serta Danau Kerinci yang elok .

Suku Kerinci yang mendiami wilayah puncak Andalas pulau Sumatera dikenal sebagai salah satu suku malayu tertua yang ada di pulau Sumatera. Alasan untuk mengelompokkan atau menggolongkan suku Kerinci ke dalam salah satu suku malayu  tertua karena pada zaman megalithikum sudah ada manusia serta budayanya di wilayah Alam Kerinci. 

Van der  Hoop pada tahun 1937 menemukan alat-alat dari obsidian di kawasan pinggiran Danau Kerinci yang sama bentuknya dengan alat-alat yang terdapat di Bandung Jawa Barat, yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum (Kahar,1981-1982:43). 

Suku Kerinci menurut para ahli dan ilmuwan merupakan bagian dari orang Malayu, sebagian dari ahli menyebutkan suku Kerinci berasal dari zaman Neolithikum, dan pendapat ini secara kasat mata dapat di lihat dari :

a). Tipe orang Kerinci yang ada sekarang memperlihatkan banyak persamaan dengan Malayu tua, yang mirip dengan tipe Mongoloid, mata menyerupai mata orang Cina, badan pendek tegap dan kulit mendekati putih;

b). Bahasa Kerinci termasuk golongan bahasa Austronenesia barat, yaitu bahasa Malayu tua. Alam dan Suku Kerinci itu unik dan spesifik. Masyarakat suku Kerinci pada masa lalu sudah memiliki bahasa, aksara Incao (miring), undang-undang (hukum), dan bahasa Kerinci mempunyai bermacam-macam logat/dialek disetiap kampung. Hampir di setiap jengkal pelosok alam Kerinci terdapat beragam benda budaya diantaranya adalah batu Megalith, Selindrik, Punden berundak,Menhir dan berbagai artefak-artefak termasuk Prasasti Kerinci yang ditulis pada daun lontar,Daluang, tanduk, Tulang, ruas bambu, batu, dan ratusan benda budaya yang berumur ribuan tahun.

Tanjung Tanah adalah sebuah Kampung tua tempat ditaruhkannya naskah Malayu Tertua Didunia, Kampung ini  yang terletak ditepi Danau Kerinci sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Danau Kerinci Kabupaten Kerinci-Jambi yang dulunya Pada masa pemerintahan Hindia Belanda 1904-1942 memasukkan kampung ini kedalam wilayah Kemendapoan Seleman Kerinci Hilir. 

Kampung ini terletak kira-kira 13 Km dari pusat kota sungai penuh, dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas dan dikelilingi oleh bukit2 barisan, gunung  menjulang dan menghijau, tak heran kalau kampung Tanjung Tanah  tempo dulu tersohor sebagai lumbungnya padi di Kabupaten Kerinci, dengan jumlah penduduk lebih kurang 6000 jiwa, sekarang Kampung Tanjung Tanah telah dimekarkan  menjadi tiga desa, Tanjung  Tanah selaku desa induk, desa Simpang empat, Desa dusun Baru Tanjung Tanah,  secara wilayah adat disebut tigo luhah Tanjung  Tanah. 

Mengapa disebut tigo luhah, kerena pada awalnya penduduk yang mendiami Kampung tersebut dihuni oleh penduduk berasal dari keturunan tigo luhah atau kalbu yang ada, ada yang disebut luhah/kalbu  Depati Talam, ada yang disebut luhah/kalbu  Depati bumi dan adapula yang disebut luhah/kalbu Depati Sikumbang.

Penduduk Tigo Luhah Tanjung  Tanah rata rata bekerja sebagai petani, nelayan, buruh, pedagang, tukang, peternak sebagian kecil ada yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan sebagian besar penduduknya  memilih berhijrah ke negeri jiran tepatnya di Kampoeng  kerinchi Kota Kuala Lumpur Malaysia .

Cerita tentang kampong  kerinchi yang  pasti bahwa orang yang bertanggung jawab dalam memainkan peranan penting dalam manaruko awal (Membuka) serta menamai Kampung Kerinchi dan kawasan di sekitarnya ialah Haji Abdullah bin Ahmad,  Kedatangan Haji Abdullah bin Ahmad ke Tanah Malayu Malaysia bukanlah secara individu tetapi beliau membawa  isterinya serta ahli keluarga yang lain terutamanya mereka yang berasal dari satu kampung di tempat asal mereka Yaitu Desa Tanjung Tanah, Kerinci-Jambi diparuh abad 19 M.

Berdasarkan tradisi lisan yang masih dituturkan turun-temurun dari orang tua- tua Dusun Tanjung Tanah,  ninek moyang tanjung tanah pada mulanya menetap dan bertempat tinggal disekitar Tanjung Kerbau Jatuh  lebih tepatnya disikitar Tanjung Hatta atau disekitar Tanjung Merindu pinggir Danau Kerinci (Sanggaran Agung) dari mana ia berasal tidak ada yang tahu yang pasti, nenek moyang tanjung tanah cukup lama bermukim  dan bertempat tinggal disitu.

Makin lama penduduk keturunan ninek moyang tanjung tanah semakin banyak, lahan pesawahan semakin lama semakin meyempit karena ninek moyang tanjung tanah merasa  wilayah itu tidak cocok lagi untuk dijadikan lahan persawahan dan tempat bermungkim , satu persatu ninik muyang tanjung tanah mulai berpindah mencari wilayah baru yang cukup luas untuk dijadikan lahan persawahan dan untuk dijadikan tempat pemukiman.

Lokasi yang dipilih untuk dijadikan tempat pemukiman itupun masih berada di pinggir danau kerinci yakni di sekitar Umpont anggauk (Bumi Hitam) atau kayu malinta (seleman rendah), daerah itu sekarang lebih dikenali dengan nama kubur  ninek JILATEH (H. Abdul Latif), entah barapa tahun entah berapa abad pula ninek muyang tanjung tanah tinggal disitu, agak nya besar kemungkinan penduduk awal yang bermukim disitu di umpont anggauk adalah keturunan dari kalbu atau luhah depati Bumi. 

Berdasarkan Tambo Dusun tanjung Tanah (TK.223.) diceritakan pula Bahwa inilah usul kita tatkala masa dahulu kemudian dari anak Ratu sunan jawa mataram sembilan beradik, seorang bergelar Sultan ratu MajaPaid. Seorang bergelar Sultan Maraja Said, seorang bergelar Sultan Maraja Inang, seorang bergelar Sultan Maraja Salih, seorang bergelar Sultan Maraja Batu, seorang bergelar Sultan Maraja Basa/Besar, seorang bergelar Sultan maraja Bangsu, seorang bergelar Sultan Kardo Besi/Garindo Besi, seorang bergelar Sikh Abd. rahman. Tatkala masa dahulu berparang dengan Tiku Pariaman berebut gedang.  

Kata Raja Tiku Pariaman hamba dahulu turun di Pagaruyung. Kata Ratu MaharajaPaid hamba dahulu turun di pagaruyung, maka jadi perang, akan kalah Jawa-mataram, maka keluarlah ninik sembilan beradik itu maka larilah musuh semuanya, tinggallah rampasan yang banyak, adapun riyal dapatnya sebuah gedung lima hasta bujur sangkar dan meriam satu pupus penuh sebuah, itulah lagi harta itu tinggal di Jawa-mataram.

Kemudian dari itu maka pikirlah ninik yang sembilan beradik itu hendak menjalang Pagaruyung, maka berhentilah di bukit Saguntang2 kerena hendak melihat musuh kalau lagi akan datang, kamudian dari pada itu maka berjalan pula maka berhenti pula di Koto Rayo, kamudian dari pada itu maka jadi kerjaaanlah Sultan Maraji Said di Jambi, maka berjalanlah orang yang tujuh beradik itu, maka tinggal Sultan Maraja Said di Jambi itu, maka dimudikkanlah air Batang Hari maka lepaslah ke Pagaruyung. 

Kamadian dari pada itu maka berbaliklah di Pagaruyung maka lepaslah ke Pariyang Padang Panjang lamalah di situ, maka lepaslah ke Tebo-Bungo, maka lepaslah pula ke hulu air diki maka dihilirlah pula air diki maka tibolah di muara air diki, bersua (bertemu)lah dengan air gedang maka dikembangkanlah tabir maka digelarkanlah batang air itu Batang Sungai Tabir, maka pikir orang yang tujuh beradik itu, maka dimudikkanlah air Sungai Tabir itu maka tinggallah Sultan Maraja Batu itu, maka berjalan orang yang enam beradik itu maka sampailah ke Talun tinggi maka berdusunlah di situ maka tinggallah Sultan Maraja Besar di situ, maka berjalanlah orang yang lima beradik itu maka sampai ke hulu air itu tiada boleh lagi tempat mandi, karena air itu sudah kecil, maka berpikirlah orang yang lima beradik itu jikalau kita mudikkan juga air ini tiba pula kita di Pagaruyung, jikalau kita kirikan air ini, ada renah yang lebar, maka berjalan pulalah orang yang lima beradik itu bersua (bertemu) pula dengan sungai gedang, maka berhenti pula di situ maka turun pula hujan gedang maka gedang air itu maka digelar sungai itu sungai gedang, maka  berjalan pula dari situ bertemu pula dengan batu gedang maka berhenti pula di situ maka hari terus pula panas maka dikembangkan pula payung, maka digelarkan pula Batu Bapayung, maka berjalan pula  dari situ bertemu pula  dengan sungai bertumbuk tiga baik rupanya maka berdusunlah di situ karena banyak emas rupanya disitu seperti kepinding lapar rupanya emas lekat (menempel) dinapan.

Rupanya maka digelarkan dusun itu ulu Kalinding lama pula dari situ maka berjalan Sultan Maraja Inang, maka bertemu hulu air Hiang, maka dihilirkan air itu, adapun anaknya Sultan Maja inang itu Petinggi emas IndarJati.

 Adapun Sultan Maraja Salih dua beradik dengan Temenggung Kertapati, berjalan maka bertemu pula air Kinci maka dihilir pula air itu. Kemudian dari itu maka berjalan pula Sultan Marajo Bangsu, Sultan Karda Besi, Siah Abd. Rahman. Adapun anaknya Sultan Marajo Bangsu Kertam Batu, Adapun anaknya Sultan Kardo Besi /garindo Besi namanya Naai, anaknya puyang ruwanti. Adapun Sikh Abd. Rahman Tunggah raja nama anaknya, maka berjalanlah pula ketiko itu. Adapun Sultan Marajo Bangsu turunlah ke bukit kudeng, dari bukit Padang maka berdusunlah pula Kayuaro tungkat. Adapun Sultan Kardo Besi/Garindo Besi dengan Sikh Abd. 

Rahman maka turunlah ke batu gedang, dari situ maka bertemu dengan air Tanjung maka dihilirkanlah air itu maka berdusunlah pula dusun Tanjung, lamalah pula dari situ maka berjalan pula orang dua beradik itu maka berdusunlah pula sungai napan, lamalah pula dari situ maka berjalan pula Sultan Kardo Besi/garindo Besi, maka Sich Abd. Rahman tinggallah di situ. Sultan Kardo Besi/Garindo Besi, bersualah (bertemu) dengan Tanah Bertanjung maka melihatlah Hilir mudik maka tampaklah danau dengan rendah, maka digelarlah (Dinamai) dusun Itu Tanjung Tanah.

Adapun isterinya Sutan Kardo Besi/Garindo Besi adalah Dayang Ruwanti, anak beliyau seorang begelar Naai, seorang bergelar Raja Masail, seorang bergelar Raja Temenggung, Raja Masail dengan Raja Temenggung tinggallah ke dusun Talang Batu Besar. Adapun Naai mengadakan sejambi, Sajambi mengadakan Dayang emas. Dayang emas mengadakan Kembang genap, Kembang genap mengadakan sediwi. Sediwi mengadakan kembang dua, Kembang dua mengadakan Seman gl. Depati Mangku Bumi Mengtar Alam. 

Selanjutnya Sultan Kardo Besi/Gerindo Besi  beserta Istrinya Dayang Ruwanti bertempat tinggal di tanah bertanjung (TANGGIT) yang  yang sekarang disebut Tanjung Tanah,keduanya beranak pinak dan keturunannya berkembang sampai sekarang, agaknya besar kemungkinan dari keturunan Sultan Kardo Besi/Gerindo Besi melahirkan penduduk dari luhah/kalbu Depati talam..

Lebih lanjut dituturkan pula oleh orang tua-tua dusun tanjung tanah,  ninik muyang tanjung tanah yang pada mulannya bertempat tinggal menetap di Umpont anggaouk ramai2 pula pindah ke Tanggit dan menyatu dengan penduduk yang telah lama ada tinggal ditanggit tanah bertanjung  pada akhirnya terbentuklah mula awal lahik dalam, seterusnya penduduk semakin lama semakin ramai dan terbentuk pula lahik sarayik, berlanjut lahik ujo, lahik panja, berlanjut membentuk lahik mudik, lanjut membentuk lahik sarahet terus terbentuk pula dusun Balai Simpang Empat dan Saat ini secara keseluruhan Disebut Tigo Luhah Tanjung Tanah Bumi Undang Silujur Alam Kerinci.(AHR).

Baca juga:

Admin
Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.